Ikatlah Ilmu itu dengan Tulisan - Ali ibnu Abu Tholib

Assalamu'alaykum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

Selamat datang saudaraku, kami ucapkan dalam blog ini semoga dapat memberi manfaat kepada anda dengan keberadaan blog ini. terimakasih telah mengunjungi kami.

Wasslamu'alaykum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

"Remember God in prosperity, and He will remember you in adversity (Ingatlah Allah dalam keadaan senang, niscaya Alah akan mengingatmu dalam keadaan susah." - Muhammad SAW.

Senin, 13 Februari 2012

Akulah Mus’ab bin Rokhim


Sudah lama mereka menunggu di Saung Sekolah ini hingga bosan. Sosok yang merekea tunggu tak kunjung datang bahkan memperlihatkan bayangannya pun tidak. Mata salah seorang anak yang duduk disana tak pernah luput memandangi sudut jalan yang biasa dia lalui. Namun hingga pegal mata itu memperhatikan jalanan itu tak kunjung sosok yang mereka tunggu hadir. Dia tak terlihat sama sekali.
Tak seperti biasanya dia datang terlambat dan tak memberi kabar seperti ini. Anak-anak yang lain beberapa sudah ada yang pulang karena bosan menunggu. Hanya ada enam anak yang masih setia menunggu di situ. Sinta, Nindi, dan Anis yang duduk-duduk di teras Saung. Sedangkan Adi dan Roni sambil bermain kelereng di pelataran Saung di bawah kerindangnan pohon mangga,
yang musim lalu menjadi rejeki bagi mereka semua saat musim berbuah tiba. Mereka mengacuhkan ajakan Dirman untuk pergi ke lapangan untuk melihat persiapan wayang kulit nanti malam. Sebenarnya mereka semua sangat menginginkan pergi melihat pementasan wayang kulit nanti malam. Melihat persiapannya dari dekat, dan jika beruntung, mendapat kesempatan yang bagus untuk memegang wayang-wayang itu.
Namun sebelum Dirman sempat berlari lebih jauh, kelebatan kain berwarna putih itu muncul dari sudut jalan. Berjalan menuju sebuah bangunan bernama Saung Sekolah, tempat mereka belajar apa saja. Dari pelajaran sekolah, mengaji, kesenian dan ketrampilan.
“Hei, Mbak Nurul sudah datang.” Teriak Dirman.
Sontak anak-anak menengok ke arah Dirman yang menunjuk seorang wanita berjilbab besar. Semuanya berdiri. Terlihat senyum di wajah mereka. Hanya Dirman yang kembali ke Saung dengan muka cemberut karena ia kesal harus lama menunggu wanita itu.
“Assalamu’alaikum.” Ucap wanita berkerudung putih besar itu menyapa kami. Senyumnya sungguh menghapus rasa kesal kami yang telah lama menunggu lama sekali.
Sinta, Nindi, Anis segera mencium tangan wanita itu. Sebelum Adi dan Roni mengkuti mencium tangannya, Dirman menjejalkan tubuhnya diantara mereka berdua hingga keduanya sempoyongan. Lalu bergegas Dirman mencium tangannya.
“Sana cuci tangan dulu, habis main kelereng tangan kalian kotor!” Tukas Dirman. Segera kedua anak itu berlari ke kran air dan kembali berkumpul bersama kami setelah mencium juga tangan lembut wanita itu.
Begitu lembutnya hingga mereka pun seakan ingin memiliki tangan itu dan menggenggamnya erat. Padahal tangan itu bukan tipe tangan manja, karena sering ketika mereka bermain kerumahnya mereka menjumpainya senantiasa melakukan pekerjaan dapur.
Dirman, yang tidak pernah merasakan belaian seorang ibu, tidak tahu bagaimana dan seperti apa tangan wanita itu, karena sudah lama bahkan dia tidak pernah merasakan usapan dan belaian tangan seorang Ibu. Dirman sudah lama tinggal berdua bersama bapaknya.
“Tadi Dirman mau kabur Mbak. Mau lihat Wayang Kulit.” Celetuk Roni.
“Huu.. wadhul,” balas Dirman.
“Tapi nggak jadi kan Man?”  tanyanya sambil mengusap kepala Dirman. Dirman hanya menggelengkan kepalanya.
“Itu apa Mbak?” tanya Adi melihat plastik besar yang ditentengnya ditangan kanannya.
“Oh iya, ini ada oleh-oleh.” Katanya sambil membuka bungkusan plastik itu yang ternyata berisi roti yang sangat besar sekali. Ada tulisannya ‘Wonder’.
“Dari mana Mbak?”
“Iya, maaf lho sebelumnya, mbak tadi habis jadi pembicara di pengajian remaja masjid di Kaliwungu jadinya telat datang ke sini. Kalian nunggu lama ya?”
“Iya Mbak telatnya pake banget.” Kata Dirman sambil menunjuk jam dinding yang tertempel di tembok. Jarum pendek jam itu menunjuk pada posisi antara angka empat dan lima.
“Mmm.. gini deh, Mbak kasih cerita aja gimana hari ini? Ada cerita menarik lho tentang seorang pemuda yang ganteng, kaya raya, dan pemberani tapi dia ditinggal ibunya gara-gara mencintai Islam. Mau tau nggak?” katanya sambil mengeluarkan sebuah spidol melihat kami serempak menganggukkan kepala.
Ia lalu berjalan mendekati papan tulis yang biasa mereka gunakan untuk mengaji bersama yang bersandar di muka dinding Saung. Mereka pun mengikutinya dengan membentuk formasi seperti biasanya, duduk mengelilinginya.
“Kalian tau siapa Mus’ab bin Umair?” tanyanya lagi. Mereka menggeleng-geleng serempak. Senyum indahnya kembali menghiasi wajahnya. Lalu ia pun mulai bercerita tentang kisah lelaki itu, panjang sekali hingga isi dalam kerdus Wonder pun hilang tak bersisa.

Seusai mendengar cerita yang disampaikan oleh Nurul, Dirman dan Adi segera berdiri dan mencoba untuk menyahut tangan Nurul untuk berpamitan. Mereka tampak seperti terburu-buru. Namun Nurul menyembunyikan tanggannya dan menyuruh mereka untuk duduk kembali.
”Kalian ini tidak sopan ya!! Para malaikat hanya akan mendoakan orang-orang yang mengikuti majelis ini sampai selesai. Ayo duduk lagi. Kita tutup bersama-sama dengan surat Al Asr dan doa penutup majelis.” Kata Nurul memerintahkan mereka berdua.
Dirman dan Adi pun manut dan kembali duduk sambil membaca surat Al Asr dan doa penutup majelis. Doa yang diajarkan oleh nurul selama satu pekan itu sekarang sudah mereka hafal di luar kepala sehingga Nurul tak perlu menuntun pelan-pelan saat membacanya.
”Ayo Di, selak magrib iki.” Ajak Dirman yang terlihat masih terburu-buru seperti saat ia membaca doa tadi.
”Siap kapten!!” balas Adi sambil menghormat seperti hormat kepada atasannya.
Weeh... arep ning Lapangan Jambu yo? Wis arep mangrib lho iki?” Kata Roni mengingatkan.
Wis reti.” balas Dirman.
”Kalau sudah maghrib kalian segera pulang ya..” teriak Nurul yang juga sedikit khawatir.
Dalam perjalanan ke lapangan Adi dan Dirman saling menanyakan apakah mereka sudah membawa uang untuk membeli mainan wayang. Karena niatan mereka utama adalah mau membeli mainan wayang yang dijual di sekitar lapangan. Para penjual musiman sangat jeli melihat pasar dan mereka pun berbondong-bondong berdatangan untuk mencari kesempatan untuk berjualan di tengah keramaian.
Setibanya di lapangan Jambu Bol, mereka terpesona melihat orang-orang yang sudah berjubel di lapangan tersebutdengan segala macam aktifitas. Dari anak-anak, pemuda, dan orang tua di sana bertaburan seperti kerumunan lalat yang mengerubungi bangkai binatang.
Okeh men wonge Man, padahal durung dimulai pentas wayange.” Kata Adi melihat kerumunan orang.
Yok nggolek wayange sik, ndek wingi aku sempet ngerti ning sebelah kono.” Tunjuk Dirman sambil menggandeng tangan Adi.
Adi pun mengikutinya. Dirman menjelaskan wayang yang dia lihat kemarin adalah pandawa lima. Mulai dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa  ada semua dan di jual di sebelah barat tempat pementasan. Adi sangat senang sekali mendengar tokoh wayang Arjuna yang ia sukai juga dijual disini.
Man, nek jemparinge Arjuna ono opo ora?” tanya Adi.
Yo golek dewe mengko yo..” jawab Dirman sambil memperhatikan para penjual yang sudah dikerumuni oleh para pembeli.
Saking asiknya Adi dan Dirman memandangi barang dagangan, tak sengaja Adi menabrak seseorang.
BRUKK!!
”ASU!!!” suara umpatan seseorang yang ditabrak Adi.
Mereka berdua sama-sama terjatuh.
Dirman lalu menolong Adi untuk berdiri. Sementara orang yang ditabraknya berusaha untuk berdiri sendiri.
Kowe ra popo Di?” tanya Dirman. Dan dijawab oleh Adi dengan menggeleng-nggelengkan kepala.
Orang yang ditabraknya mencoba untuk memancing Adi untuk berkelahi dengan mendorong-dorong Adi dan menyalah-nyalahkannya. Dilihatnya baju orang itu basah karena isi botol minumannya tertumpah kebadannya. Adi dan Dirman terpojok. Dan Adi mulai ketakutan karena orang itu mulai senewen dengan meminta uang ganti rugi kepada mereka.
Tubuh Dirman yang lebih kecil darinya didorongnya hingga jatuh. Kemudian orang itu mencengkeram baju Adi dan mulai mengeluarkan kata-kata kotor dan merogoh-rogoh saku celana Adi.
Dirman yang terjatuhpun kembali berdiri dan ikut emosi. Ditangannya sudah tergenggam sebuah batu, lalu ia hantamkan batu itu ke kepala orang itu hingga ia sempoyongan dan jatuh. Orang itu tergeletak ditanah dan melepaskan cengkramannya. Secepat darah yang mengalir keluar dari kepala orang itu, cepat pula orang-orang berkerumun di tempat mereka berkelahi.
Mengetahui hal tersebut, Dirman dan Adi saling memandang. Mereka membisikkan kata secara bersamaan.
”Darah.”
Dirman lalu memegang tangan Adi dan menggeretnya untuk lari menghindari kejaran suara-suara yang terkaget melihat orang-orang yang tergeletak tak berdaya itu. Dengan tubuh mereka yang kecil itu, mereka berhasil menyusupi celah-celan manusia yang berlawanan arah untuk melihat tontonan seru lebih dekat.
”Hei!! Bocah!!! Jangan lari!!!”
Teriak beberapa orang yang sempat melihat kejadian tadi mencoba untuk memanggil mereka. Namun teriakan itu sia-sia, karena kedua orang yang mereka panggil itu hilang bagai ditelan bumi.

Matahari sore itu menunjukkan wibawanya dengan begitu indah saat ia tenggelam. Hamparan sawah hijau itu bertabur cahaya oranye. Dipadukan dengan suara semilir angin yang menggesek-gesek dedaunan padi dan rerumputan. kerbau-kerbau yang digembalakan di pinggir sawah kini beriringan pulang menuju kandangnya.
Sekarang hanya tampak hamparan sawah yang sudah menguning, begitu luas seperti lautan emas yang tersebar membentang. Itu menandakan musim panen bagi para petani akan segera datang. Dan saat itulah para petani sibuk menyemprotkan pestisida  ke sawah-sawah mereka sebelum cukup umur mereka di panen untuk menajga kualitas padi tersebut.
Sore itu terlihat kesibukan para petani sudah usai. Matahari sore menemani perjalanan mereka setelah letih sehari penuh mereka berada di sawah. Para laki-laki bersepeda dan menenteng kotak penyemprot yang habis mereka gunakan siang tadi menuju rumah mereka masing-masing. Memang hal itu tampak dari baju dan celana yang mereka gunakan yang lusuh dan kotor karena lumpur. tapi itu sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
Keadaan Saung pun menjadi hening dari keramaian anak-anak tadi. Setelah mereka pulang. Perasaan senang tampak terlukis dalam wajahnya setelah tadi ia bergegas dengan tergesa-gesa untuk bisa sampai di Saung Sekolah ini agar tidak mengecewakan anak-anak tadi. Ia sangat takut anak-anak tidak ada pada saat ia sudah sampai di sana. Tapi doa yang ia lantunkan sepanjang perjalanan dari mengisi kajian remaja masjid di kaliwungu terkabulkan juga. Anak-anak senang dengan cerita yang ia sampaikan ditambah buah tangan yang ia dapatkan dari panitia kajian tadi.
Daun pintu Saung masih terbuka dan memang ia biarkan terbuka. Karena sebentar lagi warga yang berada di sekitar Saung akan berdatangan untuk menunaikan sholat Magrib. Karena hanya pada waktu sholat Maghrib itulah mereka dapat meramaikan Saung tersebut walaupun terkadang waktu Isya dan subuh juga terlihat ada sedikit keramaian. Inilah Saung Sekolah yang diciptakan oleh Nurul beserta teman-teman kampungnya. Sebuah wadah untuk mendidik anak-anak dan wujud pengabdiannya pada kampung yang membesarkan mereka.
Ia mulai membereskan meja-meja bekas ngaji anak-anak tadi. Karena memang hari ini ia sedang bertugas mengajar sendirian. Biasanya memang ia ditemani lima temannya yang lain. Hanya saja mereka bertiga dari awal sudah bilang untuk izin sore ini. Karena mereka harus membantu persiapan pementasan wayang kulit nanti malam yang diselenggarakan oleh Pabrik Jambu Bol. Sebuah pabrik rokok besar satu-satunya yang ada di sekitar desa itu.
Pementasan wayang kulit itu akan diadakan pada malam menjelang hari kemerdekaan Indonesia. Pementasan ini merupakan even syukuran besar-besaran di desa itu dengan menanggap wayang kulit. Sebelum acara itu biasanya akan diumumkan hasil-hasil perlombaan 17-an antar RW dan sekalian penyerahan hadiah lomba oleh Pak Lurah dan pementasan kesenian oleh masing-masing RW.
Makanya ia memaklumi kalau teman-temannya mengajar meminta izin untuk mempersiapkan acara tersebut. Dan ia juga tahu kalau anak-anak tadi bisa jadi akan hilang dari Saung jika ia lebih terlambat lagi. Kalaupun itu terjadi ia juga memakluminya karena adanya perhelatan besar di desa malam ini.
Setelah ia menutup jendela-jendela yang terbuka, ia menyalakan lampu saung dan berjalan keluar untuk pulang. Karena memang wanita disunahkan untuk melakukan sholat dirumah, bukan seperti kaum laki-laki yang disunahkan di masjid atau di musholla. Suara rekaman kaset murrotal dari Sudais dikumandangkan oleh corong Masjid Al Huda, yang berada di sebarang jalan raya. Salah satu tradisi yang masih berjalan di Desa Ngembalrejo itu dengan mengumandangkan tilawah 10 menit sebelum mangrib tiba.
Seingatnya dahulu ketika ia masih kecil ada beberapa anak pesatrenlah yang membacakan al Qur’an di Masjid. Tapi mungkin seiring dengan perkembangan zaman, dan terkadang tidak ada anak pondok pesanten yang mengaji, maka para takmir menggunakan rekaman kaset untuk menggantikannya. Ya bukan menjadi masalah asalakan tradisi yang baik itu tidak hilang, pikirnya.

Malam yang dingin menyambutnya sesampainya ia di depan sebuah rumah yang hanya berdinding yang terbuat dari gedhek, sebuah rajutan bambu yang disusun dan dicat gamping sehingga sedikit mirip tembok, ia membuka pintu rumah itu dengan perlahan berharap ia yang pertama datang masuk rumah itu. Keringat mengucur deras di tubuhnya. Dirman berharap ayahnya masih dalam perjalanan pulang dari Sholat.
Tetapi orang yang tidak diharapkannya datang lebih dulu darinya sudah menunggunya di dalam rumah. Lelaki itu sedang duduk di atas dipan dengan mengenakan sarung dan kopiah hitam yang sudah usang. Karena warna kopiah itu pun tidak lagi bisa disebut hitam dan bulu-bulu halus kopiah itu banyak yang hilang.
”Dari mana saja kau?” tanya Rokhim dengan suara yang keras sambil menyopot kopiahnya dan melipatnya.
Muka Dirman pucat dan semakin takut melihat ayahnya melepas kopiahnya, menandakan bahwa ayahnya benar-benar marah. Ia kemudian hanya diam mendengar ayahnya berbicara.
”Kemana saja tadi? Sudah keringatan begitu, pasti kamu belum Maghriban. Bocah kok malah keluyuran sampai maghrib-maghrib koyo ngene. Di culik sama candiolo baru tau rasa!”
Di samping kursi itu ada sebuah ruangan yang sengaja dibiarkan kosong dan hanya beralaskan tikar. Ruangan itu berukuran kecil kira-kira dua kali tiga meter, karena keseluruhan rumah itu juga berukuran sedang, hanya ada satu kamar tidur yang disekat sebuah kamar mandi dan dapur yang bersebelahan. Dan biasanya ruangan serba guna itu, begitu mereka menyebutnya, digunakan  untuk makan, bersantai, belajar, dan sholat. Dirman duduk di situ mendengarkan ceramah panjang bapaknya.
Setelah menyuruh Dirman untuk mandi dan magriban, Rokhim keluar menuju dan berpesan untuk tinggal dirumah sebagai ganjaran karena sudah tidak berjamaah di Musholla. Dirman sendiri masih berdiri ditempatnya diantara rasa takut. Ia takut jika ayahnya marah lagi begitu mendengar ia sudah memukul kepala seseorang hingga berdarah. Namun sekarang ia merasa sedikit lega karena ayahnya belum mengetahuinya.
Ia merasa ia telah berbuat salah dengan memukul orang itu dengan batu dan melarikan diri. Namun Ia benar-benar membencinya dan khawatir dengan keselamatan Adi. Dirman merasa takut jika ayahnya tahu apa yang telah dilakukannya sore tadi. Ia takut orang-orang akan berbondong-bondong mendatangi rumahnya malam ini. Dan Ia sedang sendirian sekarang. Tak ada siapapun di rumah itu selain Dirman.
Ia menahan isak tangisnya. Ia tahu anak seperti dia harus tahan untuk tidak menangis. Karena percuma ia menangis, toh tidak ada yang mengasihinya. Bapaknya, satu-satu keluarganya pun selalu memarahinya tiap kali bertemu di rumah. Pelan-pelan ia mengusap air mata yang keluar dari matanya dengan bajunya.
Ia mulai beranjak berdiri. Ia harus berani menangung apa yang telah ia perbuat. Ia ingat pesanya Nurul padanya ketika mengaji kemarin. Ia tak mau menjadi Dirman yang layu. Dirman yang hanya bisa sembunyi dari ketakutan. Tapi bagaimanapun juga Ia masih tetap merasa sebagai anak kecil yang masih dihinggapi ketakutan.
Tanpa disadarinya suara ketukan pintu rumahnya akhirnya menyadarkannya dari lamunannya. Ia sangat kaget dan takut jika orang yang mengetuk pintu itu adalah ayah Bayu, orang yang ia pukul sore tadi. Ia meremas remas bajunya. Khawatir ayah Bayu datang ke rumahnya dan memukulinya juga. Namun ia kembali teringat perkataan Nurul. Ia harus menjadi anak yang pemberani, mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya.
Ia masih ragu berjalan untuk membukakan pintu. Lalu dengan memantapkan hatinya ia berjalan. Ia akan menerima apapun ganjaran yang diberikan ayah Bayu terhadapnya, meskipun ia harus dipukuli juga.
Saat pintu itu ia buka. Ia sangat kaget siapa yang berada dibalik pintu itu. Ternyata bukan ayah Bayu. Itu adalah Mbak Nurul. Spontan Dirman langsung memeluknya dan menumpahkan tangisannya sebelum sempat menjawab salam dari guru ngajinya itu.
Ditumpahkannya seluruh keluh dan kesah yang ia pendam sedari pagi. Ia merasa mempunyai ibu lagi semenjak ibu kandungnya pergi keluar jawa dan tak kembali sampai sekarang. Dirman sangat menyukai Nurul. Dan dengan tabah pun Nurul mendengarkan cerita Dirman panjang lebar.
Setelah melihat Dirman tenang. Nurul mulai bicara,
”Kamu masih ingatkan pesan Mbak tadi sore?”
Dirman hanya mengangguk.
”Kamu juga masih ingat kisah Sahabat yang bernama Mus’ab bin Umair, yang memilih membela Islam dari pada ibunya sendiri?”
Dirman juga mengangguk.
”Mus’ab itu orang yang sangat tegas ketika berbicara kebenaran. Ketika ia diminta untuk memilih harta yang melimpah dan agama Islam, apa yang ia pilih?” Nurul berhenti dan memancing Dirman untuk mengingat-ingat kelanjutan kisah yang pernah ia ceritakan itu.
”Dia memilih untuk membela Islam.” Dirman melanjutkan kisahnya.
”Terus bagaimana ketika dia disuruh memilih antara Islam dengan Ibunya?” Nurul tersenyum sambil mengelus kepala Dirman.
”Te.. terus dia tetap memilih untuk menjadi seorang Islam.”
”Lalu, bagaimana selanjutnya?”
”Hingga dia mati di medan perang.”
”Syahid.” tambah Nurul membenarkan
”Iya, Mbak, Mus’ab akhirnya Syahid. ” jawab Dirman polos.
”Lantas apa balasan bagi orang yang syahid dalam membela kebenaran?” Nurul bertanya dengan halus.
”Balasannya adalah surga Mbak.”
”Terus bagaimana dengan Dirman sendiri?”
Dirman menggeleng-ngelengkan kepala.
”Apakah Dirman pengen seperti Mus’ab bin Umair?”
Dirman mengangguk-anggukan kepala.
”Lalu bagaimana seorang muslim seharusnya?”
Dirman tertegun menatap wajah manis Nurul.
”Apa yang sering Mbak ajarkan jika Mbak bertanya siapa kalian?”
”Asyhadu bi ana Muslim.” Jawab Dirman.
”Apakah Allah membiarkan seorang hamba-Nya menderita?”
Dirman menggelengkan kepala. Melihat itu Nurul tersenyum dan melanjutkan ceritanya.
”Allah itu selalu bersama dan melindungi orang-orang yang dikasihinya. Nabi Muahammad dan sahabatnya selalu berani ketika melihat kemungkaran dan mengakui semua perbuatannya dengan berani tanpa kenal takut. Karena..” sebelum Nurul melanjutkan ceritanya Dirman menyela,
”Allah selalu bersamaku!!”
”Innallaha?” tambah Nurul,
”Ma ana!!” jawab Dirman.
Dirman berdiri dengan muka berseri dan menggandeng tangan Nurul keluar rumah sambil berlari. Saking semangatnya Dirman tidak melihat bapaknya yang sudah di depan pintu dan menabraknya.
”Heh mau kemana malam-malam begini Man?” Tanya bapaknya sambil melihat Dirman lari-lari kecil bersama Nurul menjauhinya.
”Mau seperti Mus’ab bin Umair Pak!!”
Sumodisastro Wicaksono
”tentang impian masa depan”
Semarang, 12 Agustus 2009

0 komentar: