Ikatlah Ilmu itu dengan Tulisan - Ali ibnu Abu Tholib

Assalamu'alaykum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

Selamat datang saudaraku, kami ucapkan dalam blog ini semoga dapat memberi manfaat kepada anda dengan keberadaan blog ini. terimakasih telah mengunjungi kami.

Wasslamu'alaykum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

"Remember God in prosperity, and He will remember you in adversity (Ingatlah Allah dalam keadaan senang, niscaya Alah akan mengingatmu dalam keadaan susah." - Muhammad SAW.

Selasa, 08 Februari 2011

Fungsi Sunnah

Oleh: Ust. Diding Harmudi, LC


Melanjutkan tema sebelumnya, tentang pengenalan sunnah, sekarang kita akan menuju pada bab fungsi-fungsi sunnah. Terkait dengan itu, ajaran-ajaran Islam, asas dan hukum-hukumnya yang terkandung di dalam al-Qur'an umumnya hanya bersifat global, hanya sedikit sekali yang bersifat rinci. Ajaran-ajaran Islam yang bersifat umum itu dirinci dan dijabarkan oleh sunnah-sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Misalnya, perintah Allah yang tertuang di dalam al-Qur'an tentang kewajiban mengeluarkan zakat dan mendirikan shalat. Tata cara kedua rukun Islam ini sama sekali tidak dijelaskan di dalam al-Qur'an. Nabi Muhammad s.a.w. memberi perincian terhadap dua perintah Allah s.w.t. itu, dengan mengatur bagaimana zakat harus dikumpulkan dan dibayar, dan Nabi s.a.w. pula yang memberi contoh bagaimana shalat itu harus dilaksanakan. Dalam bidang akhlak, kehidupan Nabi s.a.w. sendiri adalah teladan yang harus dicontoh oleh umat Islam (QS.33:21)

Di samping merinci ajaran-ajaran Islam yang bersifat umum yang tertuang di dalam al-Qur'an, Sunnah mempunyai fungsi-fungsi atau kedudukan lain terhadap al-Qur'an. Fungsi atau kedudukan itu adalah sebagai berikut:

Menguatkan, mengukuhkan, dan menegaskan apa yang tersebut dalam al-Qur'an atau disebut ta'kid dan taqrir. Dalam bentuk ini sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur'an. Contohnya hadis Nabi s.a.w.:

بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأنّ محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحجّ البيت من استطاع إليه سبيلا

Artinya: Islam itu di bangun diatas 5 perkara: Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasannya Muhammad aalah Rasul-Nya, mendirikan shalat,menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang sanggup melakukan perjalanannnya.

Hadis di atas mmperkuat dan mengukuhkan ajaran Islam yang terkandung di dalam ayat-ayat berikut ini:

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.... (QS. al-Baqarah/2:83).

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa... (QS. al-Baqarah/2:83).

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah....(QS. Ali Imran/3:97).

Sunnah menjelaskan al-Qur'an. Allah berfirman:

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. Al-Nahl/16:44).

Para ulama memperjelas pengertian ”menjelaskan” tersebut dengan merincinya sebagai berikut:

Penjelasan untuk memperkokoh apa yang diterangkan al-Qur'an. Misalnya sabda Rasulullah s.a.w. tentang puasa Ramadhan:

صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته

Artinya: Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah (beridul futri) kamu sesudah melihatnya

Hadis ini menguatkan firman Allah:


Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu .... (QS. al-Baqarah/2: 185).

Penjelasan untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung konsep-konsep umum yang membutuhkan penafsiran, perincian dan keterangan lebih lanjut.

Dengan demikian hadis berfungsi menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang masih samar pengertiannya (mubham), mentakhsis (mengkhususkan) dan merinci ayat yang mengandung konsep umum (mujmal), menjelaskan ayat yang nasikh (menghapus hukum) dan yang mansukh (yang difhapus hukumnya). Misalnya, al-Qur'an memerintahkan salat, zakat dan haji, tetapi tidak menerangkan bagaimana cara kewajiban-kewajiban itu dilaksanakan. Nabi s.a.w. lah yang memberi contoh, menerangkan, menentukan cara-cara (manasik)-nya.

Contoh hadis yang menjelaskan arti kata 'shalat” dalam al-Qur'an. Secara harfiyah “shalat” berati do'a. Dalam hal ini, hadis menjelaskan pengertian shalat dengan melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan tindakan secara jelas, yang dimulai dari takbirat al-ihram dan berakhir dengan salam. Nabi s.a.w. kemudian bersabda:

صلّوا كما رأيتموني أصلّي

Artinya: “Dirikanlah shalat sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan shalat itu”.

Contoh sunnah merinci ayat al-Qur'an yang masih bersifat global misalnya tentang waktu-waktu shalat. Disebutkan dalam surat al-Nisa ayat 103:
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Qs.al-Nisa/4:103)

Pengertian ayat ini dirinci hadis Nabi s.a.w. dari abdullah ibn Amr menurut riwayat Muslim:

      ما لم يحضر وقت العصر ما لم تصفر الشمس ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشّفق ووقت صلاة العشاء إلى نصف  الليل الأوسط  ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر ما لم تطلع الشّمس 

Artinya: Dari Abdullah Ibn Amr, bahwa Nabi s.a.w. telah bersabda: “Waktu shalat zuhur, apabila tergelincir matahari sampai bayangan seseorang sepanjang badannya selama belum datang waktu asar; Waktu shalat asar selama belum kuning (cahaya) matahari; waktu shalat maghrib sebelumhilang cahaya merah; waktu shalat isya hingga tengah malam yang pertengahan; dan waktu shalat subuh dari terbitnya fajar selama belum terbit matahari (HR. Muslim).

Contoh sunnah membatasi maksud ayat al-Qur'an datang dalam bentuk umum misalnya hak waris anak laki-laki dan perempuan dalam surat an-Nisa ayat 11:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan … (QS. Al-Nisa /4:11).

Pengertian ayat di atas dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang bukan penyebab kematian (pembunuh) ayahnya sebagaimana tersebut dalam hadis dari Amr ibn Syu'aib menurut riwayat al-Nasa'i dan Dar al-Quthni:

      عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جّده  قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ليس للقاتل شيئ

Artinya: Dari Amr ibn Syu'aib,dari ayahnya, dari kakeknya. Ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: “Tidak ada bagi yang membunuh sedikitpun dari harta warisan (HR al-Nasa'i dan Dar al-Quthni).

Contoh sunnah memperluas  apa yang dimaksud oleh al-Qur'an misalnya firman Allah yang melarang seseorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat an-Nisa ayat 23:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisa/4:23)

Kandungan ayat ini diperluas oleh hadis Nabi s.aw. dari Abu Hurairah yang berbunyi:

      عن أببي هريرة أن رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم قال لا تجمع بين المرأة وعمّتها ولا بين المرأة وخالتها.

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Tidak boleh dinikahkan (dimadukan) antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya, dan tidak boleh pula dimadukan seorang perempuan dengan saudara ibunya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis membawa hukum yang tidak ada ketentuannya di dalam al-Qur'an sama sekali, sehingga hukum yang dibawa hadis itu bukan merupakan tambahan yang menyempurnakan ketentuan al-Qur'an. Contohnya adalah hadis-hadis yang mengharamkan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah), daging binatang buas, dan beberapa ketentuan tentang diyat (denda).

Berkenaan dengan ini dua kedudukan hadis yang terakhir (2 dan 3 ), kedudukan Nabi s.a.w. seperti dibenarkan oleh al-Qur'an, berdasarkan firma-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya). (QS. al-Anfal: 20).

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. al-Hasyr/59:7)

Tiga fungsi sunnah tersebut di atas disepakati oleh para ulama, akan tetapi, menurut sebagian mereka, masih terdapat fungsi lain sebagai fungsi keempat, yaitu fungsi menasakh ayat-ayat al-Qur'an. Akan tetapi, fungsi ini ditolak oleh ulama lainnya. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sunnah atau hadis dapat menasakh al-Qur'an. Hal ini, menurut mereka, telah terjadi dalam masalah warisan. Surat al-Baqarah ayat 180 mewajibkan orang yang akan meninggal dunia berwasiat kepada kedua orang tuanya atau kepada kaum kerbat. Sedang hadis menyatkan, “Tidak ada wasiat untuk ahli waris”.

Mayoritas ulama (Jumhur), diantaranya Imam Syafi'i menyatakan bahwa al-Qur'an tidak dapat dinasakh oleh hadis atau sunnah, baik hadis mutawatir, masyhur, maupun ahad. Kelompok Jumhur mendasarkan pendapatnya kepada ayat 106 surat al-Baqarah.

Mereka mengatakan bahwa al-sunnah tidak sama dengan al-Qur'an dan tidak pula lebih baik dari padanya, maka ia tidak dapat menasakhnya. Golongan terakhir ini menyandarkan pendapat mereka kepada beberapa ayat al-Qur'an, diantaranya:

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[675] atau gantilah dia[676]". Katakanla


"Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)". (QS. Yunus/10: 15).

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. al-Nahl/16: 101).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. mengikuti semua yang terdapat di dalam wahyu yang disampaikan kepadanya dan tidak melakukan penggantian terhadapnya, sedangkan penggantian sama dengan nasakh. Adapun contoh yang dikemukakan kelompok Hanafiyah, dibantah oleh Jumhur dengan mengatakan bahwa yang menasakh ayat wasiat terhadap ahli waris bukanlah hadis, tetapi ayat-ayat yang menetapkan pembagian warisan terhadap ahli waris.

Dengan melihat fungsi dan kedudukan al-sunnah terhadap al-Qur'an sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa tidak mungkin memahami al-Qur'an secara benar dalam keseluruhannya tanpa dibantu oleh hadis atau sunnah, apalagi dalam masalah-masalah yang termasuk la majal li al-'aqli fih (bukan wilayah akal). Bahkan al-Auza'iy berkata: “al-Qur'an lebih banyak berkepentingan kepada Al-Sunnah dari pada sebaliknya”

Wallahu A'lambi al-Shawaab

0 komentar: