Ikatlah Ilmu itu dengan Tulisan - Ali ibnu Abu Tholib

Assalamu'alaykum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

Selamat datang saudaraku, kami ucapkan dalam blog ini semoga dapat memberi manfaat kepada anda dengan keberadaan blog ini. terimakasih telah mengunjungi kami.

Wasslamu'alaykum Warrahmatullahi Wabarakaatuh

"Remember God in prosperity, and He will remember you in adversity (Ingatlah Allah dalam keadaan senang, niscaya Alah akan mengingatmu dalam keadaan susah." - Muhammad SAW.

Selasa, 20 Maret 2012

Mengupas Sejarah Perjuangan Emansipasi Kartini


Mengupas Perjuangan Emansipasi Kartini

Menelisik sejarah memang takkan ada habisnya. Apalagi jika sejarah itu adalah berkaitan dengan sosok tokoh besar yang banyak dipuja-puja orang. Dan pernahkah kita mendengar ucapan Presiden RI pertama Indonesia tentang seorang pahlawan? Beliau mengatakan: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Begitulah kiranya kutipan ketika beliau berpidato pada Hari Pahlawan 10 November 1961 lalu.

Bercerita tentang Kartini, tentunya yang pertama kali kita ingat adalah emansipasi perempuan dan tanggal kelahirannya yang senantiasa kita peringati tiap tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Anggapan masyarakat dan doktrin sejarah yang dahulu dibukukan kedalam mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, menganggap dari sinilah titik awal perempuan Indonesia menemukan titik cahaya harapan.

“Dari Gelap Terbitlah Terang.” Itulah kalimat pembawa ‘kemerdekaan’ bagi kaum perempuan yang pada waktu itu dianggap mendapat perlakuan semena-mena dari kaum laki-laki. Begitu hebatnya seorang Kartini hingga dia mampu mengubah paradigma berfikir tentang bagaimana memperlakukan seorang perempuan sebenarnya. Namun apakah kita sadar tentang apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh Kartini? Apakah tentang perjuangan mengangkat martabat para perempuan dihadapan laki-laki? Pembebasan hak-hak wanita sepenuhnya? Kesamaan gender? Ataukah dengan meminjam kalimat seorang Pramoedya yang mengatakan “Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.”  Lalu emansipasi yang seperti apa yang Kartini inginkan.

Mengangkat kembali kisah Kartini berarti kita akan berperang melawan waktu dan menelusuri sedikit demi sedikit tentang kisahnya yang seakan sengaja dikaburkan atau dikaburkan oleh beberapa pihak yang tidak suka dengan pengalaman nyatanya.

Garis Keturunan
Raden Adjeng Kartini, begitu orang-orang menyebutnya, lahir di Jepara tanggal 21 April 1879, dan meninggal di Rembang pada 17 September 1904 diusianya saat 25 tahun. Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Tapi ia tidak mau disebut sebagai Raden Adjeng seperti tertuang dalam tulisannya Pramoedya: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!” ujarnya saat usianya menginjak ke 20.

Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Pendidikan Kartini
Kartini sendiri secara formal mengenyam pendidikannya hanya sampai pada usia 12 tahun di Sekolah Rendah di ELS (Europese Lagere School) karena harus menjalani prosesi pingitan. Disinilah alasan mengapa Kartini mengeluarkan bukunya ‘Door duisternis tot Licht’ dalam bentuk bahasa Belanda, karena dia tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa Jawa ataupun Melayu dan juga ia beranggapan buku itu akan lebih bermanfaat ketika ia buat dalam bahasa Belanda, karena saat itu hanya sedikit saja orang Jawa dan Melayu yang bisa membaca. Buku itu kita kenal dengan nama Habis Gelap, Terbitlah Terang.

Kegemarannya akan belajar dan mempelajari hal-hal baru tak berhenti sampai di situ. Ia menghabiskan masa-masa remajanya dengan banyak membaca surat kabar dan majalah-majalah berbahasa Belanda.  Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan) dan majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie yang cukup berat bacaannya. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).

Menuju kepada Kedewasaan Berfikir
Seringnya berinteraksi dengan media-media tulis Belanda dan kegiatan surat menyuratnya dengan kawan-kawan penanya seperti Ny van Kol seorang misionaris Kristen Belanda yang banyak bercerita tentang keunggulan-keunggulan negerinya dan agamanya. Begitu juga dengan Josephine Hartseen Abendanon yang dikenalkan oleh kawannya yang lain. Dan patut diketahui bahwa JH Abendanon adalah juga seorang pengikut zionis yang memang pada waktu itu sedang mencari-cari ‘mangsa’ untuk meredam pemikiran-pemikiran pemuda-pemudi Islam dengan cara merekrut mereka kedalamnya. Hal ini sedikit banyak merubah pola fikir Kartini masa itu. Belum lagi saat kisahnya masa kecil yang pernah ditolong oleh seorang biarawan ketika sakit, dan di babtis sebagai salah satu anak Budha.

Dengan kata lain, pada masa mudanya ia selalu mengisyaratkan akan pluralisme beragama. Dalam pendapatnya Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya.” Di sini Kartini menganggap tak perduli agamanya apa, yang menjadi titik permasalahan adalah bagaimana dia bisa menjadi manfaat bagi bangsa dan rakyatnya.

Namun, saat ia mengunjungi rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak, kala itu ia bertemu dengan Kyai Sholeh Darat yang sedang mengisi pengajian keluarga, ia tertarik untuk bertemu dengan beliau secara pribadi dan banyak berkonsultasi tentang agama. Dari sinilah Kartini mulai mendapatkan cahaya hidayahnya. Kyai Sholeh Darat merasa tergugah hatinya untuk menuliskan terjemahan Al Qur’an saat Kartini bertanya tentang masyarakat muslim Jawa yang hanya membaca dan tak pernah mengerti arti dari pusaka Rosul-Nya.

Betapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Al Qur’an, seperti digambarkannya kepada Abendanon, ”Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaaan di samping kami”. Terjemahan yang hanya sebagian itu ia terima sebagai kado pernikahannya pada tahun 1993 karena belum selesai sang penulis merampungkan terjemahannya, Kyai Sholeh Darat wafat.

”Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi”. Inilah yang menjadi titik tolak pemikiran Kartini menuju kepada kedewasaan berfikir.

K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, ebagais suaminya, mengerti keinginan Kartini dan ia diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang.

Kartini adalah seorang priyayi Jawa yang ingin memberontak terhadap kultur keraton Jawa yang menganggap perempuan hanya pantas untuk di tiga tempat: Dapur, Sumur, dan Kasur. Kartini berani mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya.  Menurutnya, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Namun di lain pihak Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Dan pertemuannya dengan seorang ulama Demak, Kyai Sholeh Darat, mampu  meluruskan kembali ide-ide cemerlang Kartini, yaitu, bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.

 Apa Jadinya Jika Kartini Hidup Kembali
Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan berteriak dan mengkritik ada apa dengan emansipasi sekarang? Kenapa ada penyelewengan tentang emansipasi yang ia perjuangkan. Lalu Kartini akan menyerang kontes kecantikan ratu-ratuan yang mengumbar aurat, Kartini akan menyerang keinginan para perempuan angkuh untuk berdiri di atas laki-laki. sebab menurut Kartini, perempuan dan laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing yang unik, sebab itu mereka memerlukan satu dengan yang lainnya, saling melengkapi.

Sejatinya, Kartini hanya ingin merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Dalam suratnya Kartini kepada prof. Anton dan Nyonya, 1902, ia menulis: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Pemikiran Kartini ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu sebelum mendapat hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Kartini menulis kepada Zeehandelaar pada 1899: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.”

Mengambil kata-kata Suhartiningsih: “Dengan mengatasnamakan emansipasi, wanita bisa menjadi Presiden, wanita bisa menjadi Direktur Utama, wanita bisa turun ke jalan dan mengeskpresikan diri dalam menolak kebijakan-kebijakan pemerintah dan wanita bisa menjadi pemimpin keluarga. Tidak seperti ini emansipasi yang diinginkan Kartini. Emansipasi seperti apapun, wanita tetaplah wanita. Wanita tidak boleh melupakan fitrahnya sebagai wanita, menyusui, melahirkan, dan membesarkan anak-anak untuk menjadi orang yang lebih baik.” Pada prinsipnya seorang Kartini adalah seorang pejuang perempuan yang menginginkan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Namun persamaan gender yang ia inginkan adalah tidak merubah fitrahnya sebagai seorang perempuan semestinya.

Namun, jika Kartini hidup dimasa sekarang, dia akan sangat berterimakasih pada perempuan-perempuan yang sudi kiranya menjadi pelengkap bagi pasangannya dan menjadi contoh baginya. Layaknya Siti Khatijah yang mendampingi Muhammad diwaktu duka, layaknya Fatimah yang tunduk taat terhadap Ali, layaknya Nusaibah yang turut serta mengangkat pedang di medan laga bersama Zaid bin Ahsim.

Bisa jadi Kartini akan memberikan penghargaan yang tinggi pada perempuan-perempuan setelahnya yang berkiprah tinggi namun tak pernah melepaskan tugas utamanya sebagai ibu dan pendidik generasinya. Bagaimana saat Siti Hartinah dengan kesetiaannya mendampingi HM. Soeharto, Khofifah yang melejit karir politiknya tapi ia senantiasa santun terhadap Indar Parawansa, kepada Santi Mia Sipan seorang President Director PT Jaty Arthamas yang sibuk dengan usahanya tapi tak lupa peranan seorang ibu dan istri dari seorang dokter Obsgyn Soegiharto Soebijanto, atau legenda sosok Yoyoh Yusroh yang membesarkan 13 anak dengan sempurna, perjuangan sebagai wakil rakyat yang tak kenal lelah dan sosok istri patuh dari Budi Dharmawan.

Wallahu’alam bishowab.

Sumber berbagai web dan buku

0 komentar: