Sudah berminggu-minggu sungai itu
mengering. Warga yang senantiasa pergi ke sawah pun sudah tak nampak lagi di
ladang mereka. Benih mereka ada, tenaga mereka siap, kerbau dan alat bajak
sudah tinggal jalan. Namun yang sekarang mereka berhenti keluhkan, kalaupun
mengeluh, air juga tak kunjung datang.
Pemerintah Desa sendiri sampai
kelimpungan melayani protes masyarakat tentang bagaimana upaya Pemerintah Desa
untuk mengairi lading mereka. “Bagaimana
saya menjawab pertanyaan saudara jika saya saja bertanya-tanya bagaimana
caranya mengairi sawah bengkok punya desa agar tetap bisa ditanami. Lihat saja,
sawah sekarang alih fungsi jadi lapangan bola anak-anak.” Tutur Kepala Desa
sambil menunjuk ladang yang digunankan anak-anak bermain bola.
Awalnya sungai masih cukup baik untuk
mengairi ladang dan memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar. Kepandaian
yang tak pernah mereka dapat dibangku sekolah tetapi alam sendiri telah
mengajarkan akan hal tersebut. Warga desa paham air sungai tidak cukup baik
untuk mereka gunakan secara langsung. Air sungai dipompa dan dialirkan ke
pekarangan rumah-rumah mereka.
Resapan air sungai dari tanah
mengalir hingga sumur-sumur warga. Secara alami tanah melakukan penyaringan
kuman dan kotoran dari sungai. Namun waktu tak mau kalah berlari. Lambat laun
debit air di sumur perlahan mulai berkurang. Masyarakat menjadi semakin resah
ketika sumur mereka sudah tidak bisa berfungsi lagi.
Mereka mulai mempertimbangkan
tawaran dari tetangga desa sebelah terkait pemasangan air pam. Namun untuk
memulai itu mereka harus menguras kantong mereka dalam-dalam dan menjadi
berfikir dua kali ketika ditabrakkan dengan kondisi keuangan mereka yang belum
bisa menambah penghasilan.
Seminggu sekali mereka mengangsu
air di masjid desa tetangga yang berjarak sangat jauh. Dengan membawa jerigen mereka
bersepeda dan menggenggam surat keterangan tidak mampu dari desa yang nanti
akan ditujukan kepada pengurus masjid. Hanya itu yang mampu membebaskan mereka
dari penarikan uang pembelian air.
Dapat dimaklumi pengurus masjid
mengambil sikap seperti itu, karena masyarakat sekarang terkadang tidak
mempunyai perasaan malu dan berbuat seenak udelnya. Orang yang mampu, karena
mendengar ada yang gratisan di suatu tempat meski itu bukan haknya, tetap saja
mereka ikut mengantri berdesak-desakan. Bahkan omongan miring dari orang-orang
disekitarnya saja tidak digubrisnya. Pertanda hati yang mengeras dan tak punya
rasa empati terhadap sesamanya.
Pertemuan dengan teman lama yang
tak disangka sempat memberikan angin sejuk bagi desa ini. Ternyata ia bekerja
di PKPU, sebuah lembaga kemanusiaan. Ia bersama kawannya melakukan peninjauan
ke desa dan bersepakat menyalurkan bantuan air bersih.
Spontan masyarakat berdatangan dan mengantri
begitu melihat mobil tangki berisi bantuan air menghampiri desa. Pemandangan
yang sangat langka bagi kami dan teman saya juga memberikan kesan tersendiri.
Bagi saya pemandangan ini sempat
saya temui ditelevisi saat masyarakat berebut dalam antrian sembako saat
menjelang lebaran dua tahun lalu. Ironis memang jika bisa dikatakan. Sumber air
yg terkadang tidak menjadi problem bagi orang-orang kebiasaan, orang Jawa
terutama, sekarang bisa jadi mengalahkan rasa kemanusiaan yg terkadang
bermunculan egoisitas masing-masing demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Menunggu hujan.
Melihat kabar dibeberapa kota sudah
turun hujan. Lantas kapan Dia mendatangkan hujan ke Desa. Bahkan kucing saja
sekarang sudah tidak berebut ikan dengan manusia. Tapi berebut air dalam
tempayan yang membuat sang majikan melemparkan gayung kosong kearahnya.
Ketika beberapa warga berdatangan
ke salah satu Kyai desa untuk meminta doa dan mengusulkan untuk mengadakan
sholat minta hujan, sholat istisqo. Sang Kyai menyampaikan pada warga untuk
saling berdoa di rumah masing-masing dan di dalam setiap doa mereka untuk mohon
ampunan dan meridhoi desa ini.
Perkara sholat istisqo tidak lah
perkara gampang. Ujarnya. Kesiapan hati dan niat yang ikhlas kudu di tata
terlebih dulu sebelum kita melakukan sholat Istisqo. Tambahnya. “Kalian setiap
harinya marah-marah, mengumpat, bahkan kadang kucing yang tidak salahpun kalian
lempari gayung. Bersihkan hati kalian dulu. Sana ramaikan musholla dan masjid.
Baru kembali ke sini untuk meminta mengadakan sholat Istisqo.” Hardiknya keras.
Para warga yang semula berduyun-duyun
datang dengan muka tegap dan berlagak sholeh, mereka membalikkan tubuh dengan
perasaan lunglai dan lemas. Mereka sadar bencana ini bukan semata cobaan saja,
tetapi lebih dari itu.
Sesaat mereka melewati musholla
yang ditunjuk oleh sang Kyai, mimik wajah trenyuh dan tatapan mata yang basah
menghiasi raut muka mereka saat mengamati musholla using penuh debu itu. Betapa
egoisnya mereka. Bagaimana kita akan diperhatikan oleh Yang Maha Pemberi Berkah
kalau rumah-Nya saja tidak pernah mereka rawat. Batin mereka.
Mereka saling berpandangan dan
mengangguk seakan terhubung hati mereka untuk bersepakat melakukan hal yang
sama. Tak ubahnya seperti kuda yang melihat singa mengejar mereka berlari
pontang panting bergegas menuju rumah masing-masing.
bersambung
Catatan kecil musim kemarau
Sumodisastro,
20 September 2012
0 komentar:
Posting Komentar