Bagaimana Hukum Wanita Muslimah Berkarir
Melihat tampilan pertama di media Google ternyata tanggal 8 Maret digaungkan sebagai hari Perempuan Internasional, langsung tertuju pada kata-kata emansipasi wanita. Ini mengingatkan saya saat istri saya dulu sebelum menikah dengan saya (saat taaruf pertama kali) menanyakan bagaimana dengan pekerjaannya setelah menikah nanti? Apakah dia harus meninggalkan pekerjaannya atau tetap boleh bekerja. Saat itu saya hanya mengatakan bagaimana dengan pekerjaan setelah menikah adalah tidak menjadi masalah dan bisa dikomunikasikan setelah kita berumah tangga nanti.
Melihat tampilan pertama di media Google ternyata tanggal 8 Maret digaungkan sebagai hari Perempuan Internasional, langsung tertuju pada kata-kata emansipasi wanita. Ini mengingatkan saya saat istri saya dulu sebelum menikah dengan saya (saat taaruf pertama kali) menanyakan bagaimana dengan pekerjaannya setelah menikah nanti? Apakah dia harus meninggalkan pekerjaannya atau tetap boleh bekerja. Saat itu saya hanya mengatakan bagaimana dengan pekerjaan setelah menikah adalah tidak menjadi masalah dan bisa dikomunikasikan setelah kita berumah tangga nanti.
Saat ini terkadang masih menjadi pertanyaan dalam diri para wanita muslim bagaimana sikap mereka sebenarnya terhadap pekerjaan. Apakah mereka tidak dibolehkan ikut sebagaimana yang dilakukan oleh para laki-laki. Apakah ada pembedaan antara hak-hak laki-laki dan wanita.
Adakah batasan-batasan menurut syariah terhadap apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak boleh dlakukan seorang wanita muslimah terkait dengan pekerjaannya. Banyak pandangan negative dan menyudutkan tentang bagaimana Islam memperlakukan wanita. Dan secara tidak langsung hal-hal semacam ini juga merugikan tidak hanya Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘alamin juga kepada optimalisasi aktivitas kaum wanita muslimah di kancah dunia.
Berikut beberapa artikel yang saya sadur dalam tulisannya ulama salafiyah Dr. Yusuf Qardhawi dalam buku beliau tentang Fatwa-Fatwa Kontemporer oleh Gema Insani Press. Setidaknya ada tiga hal yang harus digarisbawahi tentang syarat wanita-wanita muslimah apabila ingin menjadi seorang wanita karier, yaitu bagaimana tentang pekerjaaannya apakah syariah atau tidak, terkait adab seorang wanita muslimah, dan yang terpenting adalah bagaimana tugas dan kewajiban utama seorang wanita muslimah yang harus terpenuhi.
Dari penjelasan awalnya, beliau Ust. Qadhawi menyatakan bahwa wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:
"... sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ..." (Ali Imran: 195}
Manusia merupakan makhluk hidup yang diantara tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia.
Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan manusia agar mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki - dan dengan amal yang lebih baik
secara khusus - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan..." (Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
"Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (an-Nahl: 97}
Selain itu, wanita, sebagaimana biasa dikatakan, juga merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi sesuatu pun.
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Dr. Yusuf Qadhawi menyitir sebuah syair (Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil) dari Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Diantara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga terkenal dalam peribahasa, "Bagusnya pelayanan seorang wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fisabilillah."
Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara' yang sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.
Berdasarkan prinsip ini, maka Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa wanita bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.
Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur'an surat al-Qashash:
"... Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (al-Qashash: 23)
Diriwayatkan pula bahwa Asma' binti Abu Bakar, yang mempunyai dua ikat pinggang, biasa membantu suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk
dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
Masyarakat secara umum sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki.
Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
Dari kesimpulan diatas, apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal Rasulullah saw. telah melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik," (al-Ahzab 32)
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan kewajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya.
Sumber
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar