Pada umumnya, ulama mengajarkan bahwa sumber agama Islam ada 4, yaitu al-Qur'an, sunnah (hadis), ijma', dan qiyas. Al-Qur'an dan sunnah (hadis) disebut al-adillah al-qoth'iyah (dalil yang mutlak benar), sedang ijma' (kesepakatan pendapat di antara jama'ah muslimin) dan qiyas (penggunaan akal dengan metode analogi) disebut al-adillah al-ijtihadiyah (dalil yang diperoleh dengan jalan ijtihad).
As-Sunnah sebagai Sumber hukum dalam Islam
Berkenaan dengan sumber ajaran agama Islam ini, hadis Nabi s.a.w. kepada Muadz ibn Jabal ketika memerintahkannya ke Yaman untuk bertindak sebagai Gubernur di sana, sering
dijadikan sandaran, ketika Nabi bersabda:قال رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم لمعاذ بن جبل: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء ؟ قال بكتاب الله قال فإن لم تجد ؟ قال فبسنة رسوله قال فإن لم تجد؟ قال أجتهد برأيى
Artinya: Rasulullah bertanya, “Bagaimanakah engkau akan mengadili perkara ?”, Muadz menjawab, “Aku akan mengadili perkara dengan Kitab Allah (al-Qur'an)”, Nabi s.a.w.bersabdalagi, “Apakah yang engkau lakukan apabila engkau tidak mendapatkan petunjuk di dalam Kitab Allah?” Muadz menjawab, aku akan mengadili dengan sunnah Rasulullah”. Nabi s.a.w.kembali bertanya, Bagaimana apabila engkau juga tidak mendapatkan sunnah Rasulullah?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan akal pikiranku” (HR. Abu Dawud).
Namun karena Ijma' dan Qiyas didasarkan atas al-Qur'an dan hadis, maka sumber ajaran Islam yang sebenarnya adalah al-Qur'an dan sunnah. Di antara keduanya, al-Qur'an ádalah sumber yang paling asasi, karena hadis tidak boleh bertentangan dengannya, akan tetapi, al-Qur'an sendiri menyuruh umat Islam mentaati Nabi s.aw. sehingga sunnah Nabi s.a.w mendapat pengabsahan dari al-qur'an sebagai sumber ajaran Islam.
Ditinjau dari segi kehujahannya, hadis/sunnah berada pada posisi kedua setelah al-Qur'an, jika terdapat kesan adanya pertentangan antara al-Qur'an dan sunnah, maka yang dijadikan pedoman ádalah al-Qur'an.
Di antara alasan menetapkan sunnah setelah al-Qur'an ádalah sebgai berikut:
Yang bersifat rasional ('aqly). Sifat al-Qur'an yang qoth'iy al-tsubut, tentulah kedudukannya lebih tinggi dari dan didahulukan atas sunnah yang bersifat zaniy al-tsubut.
Al-Sunnah berfungsi sebagai penjabar terhadap al-Qur'an. Tentu saja yang dijabarkan lebih tinggi kedudukannya daripada yang dijabarkan, sebagaimana lebih tingginya UUD 1945 daripada GBHN. Dengan kata lain, keberadaan sunnah sebagai penjabar tergantung pada keberadaan al-Qur'an sebagai yang dijabarkan.
Dalam sejarah diketahui bahwa para pemuka sahabat ketika menghadapi suatu masalah, mereka lebih dahulu merujuk kepada al-Qur'an, jika tidak ditemukan, barulah mereka merujuknya pada al-Sunnah.
Al-Sunnah berfungsi sebagai penjabar terhadap al-Qur'an. Tentu saja yang dijabarkan lebih tinggi kedudukannya daripada yang dijabarkan, sebagaimana lebih tingginya UUD 1945 daripada GBHN. Dengan kata lain, keberadaan sunnah sebagai penjabar tergantung pada keberadaan al-Qur'an sebagai yang dijabarkan.
Dalam sejarah diketahui bahwa para pemuka sahabat ketika menghadapi suatu masalah, mereka lebih dahulu merujuk kepada al-Qur'an, jika tidak ditemukan, barulah mereka merujuknya pada al-Sunnah.
Dalil-dalil Yang bersifat Naqliy antara lain:
Hadis Nabi s.a.w. kepada Muad ibn Jabal sebagaimana tersebut di atas.
وروي عن ابن مسعود من عرض له منكم قضاء فليقض بما كتب الله فإن جاءه ما ليس في كتاب الله وكان عن رسول الله صلى الله عليه وسلّم
Artinya: Diriwayatkan dari Ibn mas'ud, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa di antara kamu dihadapkan kepadanya suatu perkara hukum, maka hendaknya ia memutuskan perkara itu berdasarkan kepada apa yang sudah ditetapkan Allah (di dalam kitabnya), dan apabila dihadapkan kepadanya suatu pekara hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an, maka perkara itu diputuskan berdasarkan apa yang diterima dari Rasulullah s.a.w.”.
Penegasan kedudukan itu diperlukan ketika terjadi pertentangan antara sunnah dengan al-Qur'an. Dalam keadaan biasa, ketaatan terhadap tuntunan hadis/sunnah tidak boleh dibedakan dengan ketaatan terhadap al-Qur'an. Ketaatan kepada keduanya harus seiring dan sejalan karena keduanya berasal dari wahyu Allah s.w.t. di dalam beberapa ayat menjelaskan betapa ketaatan terhadap Rasulullah s.aw. adalah juga ketaatan kepada Allah, seperti dalam firman-Nya:
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. al-Nisa/4:80)
Ayat-ayat lain juga menjelaskan ketaatan di atas ialah:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. QS. al-Nisa: 59)
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali Imran/3:32)
As-Sunnah Sebagai Sumber Penetapan Syari'at (Hukum) dan Dakwah
Tidak diragukan lagi as-sunnah adalah sumber hukum kedua-setelah al-Qur'an dalam penetapan hukum fiqih dan syari'at. Karena itu, pembahasan tentang As-Sunnah, sebagai dasar serta dalil bagi hukum-hukum syari'at, dilakukan secara luas dalam semua kitab ushul Al-Fiqh dan dari semua mazhab. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai Al-Auza'iy (w. th 157 H.) menyatakan bahwa ”Al-Qur'an lebih membutuhkan As-Sunnah dibandingkan dengan As-sunnah kepada Al-qur'an.”5
Hal itu mengingat bahwa As-Sunnah merupakan penjelas bagi Al-Qur'an. Ia merinci apa yang disebutkan Al-Qur'an dalam garis besarnya saja, membatasi apa yang perlu dibatasi dan mengkhususkan apa yang disebut oleh al-Qur'an secara umum.
Itulah sebabnya, sebagian orang menyatakan bahwa ”As-sunnah berwenang atas Al-qur'an.” Yakni dalam arti berwenang memutuskan apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an.
Akan tetapi, Imam ahmad tidak menyukai ungkapan seperti itu. Katanya: ”Saya tidak berani mengatakan seperti itu. Saya hanya akan berkata bahwa As-sunnah menjelaskan kandungan Al-Qur'an.”6
Dan, barangkali, itulah yang lebih bijaksana. Sebab As-Sunnah, dalam satu segi, memang menjelaskan apa yang ada dalam Al-Qur'an, tetapi dalam segi lainnya, ia hanya berputar dalam orbit Al-Qur'an, tidak keluar darinya. Adapun hal yang telah disepakati sepenuhnya, adalah keberadan As-Sunnah sebagai sumber utama dalam penetapan hukum ibadat dan muamalat, yang berkaitan dengan individu, keluarga ataupun negara.
Imam Asy-Syaukani berkata: ”Singkatnya, keberadaan As-Sunnah sebagai hujjah (atau sumber hukum syariat) serta wewenangnya dalam penetapan hukum-hukum sudah merupakan suatu keharusan dalam agama, tidak seorang pun berbeda paham tentangnya, kecuali mereka yang tidak memiliki cukup ilmu dalam Islam.”7
Selain As-Sunnah sebagai sumber penetapan hukum kedua setelah al-Qur'an, as-Sunnah juga dijadikan oleh para Da'i dan Murabbi sebagai rujukan dalam menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuki ke dalam hati manusia. Demikian juga untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar.
Akan tetapi, agar sunnah dapat memenuhi fungsinya seperti tersebut di atas, haruslah terlebih dahulu kita meyakini bahwa sunnah itu benar-benar berasal dari Nabi saw. dan berkualitas shahih atau hasan.
Para ulama menyepakati persyaratan seperti ini dalam hadis-hadis yang dijadikan hujjah atau dasar dalam menetapkan hukum-hukum syari'at seperti yang berkaitan dengan halal dan haramnya sesuatu yang merupakan prinsip ajaran Islam.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan fadha-il al-amal (keutamaan-keutamaan amal), zikir, raqa'iq (ungkapan-ungkapan halus yang menyentuh perasaan), targhib wa tarhib, (anjuran dan pencegahan) dan sebagainya. Diantara para ulama ada yang mempermudah periwayatannya dan tidak keberatan untuk mentakhrijkannya.
As-Sunnah Sebagai Sunber Ilmu pengetahuan dan Peradaban
Sumber ilmu pengetahuan menurut para penganut aliran materialisme adalah terbatas pada materi yang dapat ditangkap oleh panca indera atau hal-hal yang logis dan masuk akal saja, mereka tidak mempercayai sumber ilmu pengetahuan apapun selain kedua sumber di atas.
Umat islam, juga menpercayai dua sumber tersebut. Kita menganggap panca indera dan akal sebagai instrumen penting ilmu pengetahuan bahkan sebagai kenikmatan karunia besar yang dianugrahkan Allah kepada manusia agar dapat memahami dirinya dan alam sekitarnya. Dengan akal dan panca indera itu juga ia dapat mengkaji dan mengerti hukum alam dan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Bahkan hukum-hukum dan rahasia alam itu sendiri oleh Islam dianggap sebagai saksi terbenar bukti paling akurat yang menunjukkan eksistensi dan keagungan Allah SWT. Yang telah memberikan segala-galanya kepada makhluk-Nya, lalu Dia memberikan hidayah kepada mereka.8
Akan tetapi, Umat Islam percaya bahwa selain itu, masih ada sumber lain yang lebih tinggi daripada kedua sumber ilmu pengetahuan tersebut di atas. Sumber yang terakhir ini bahkan dapat meluruskan dua sumber tadi, apabila keduanya salah, atau tersesat jalan. Sumber itu adalah wahyu ilahi.
Karena itu, akal, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Abduh9 memerlukan penolong yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar, ketika ia melalui persimpangan jalan, jebakan-jebakan, dan kawasan asing bagi akal. Pembimbing ini akan mengajarkan kepadanya apa-apa yang masih belum diketahui dan membawanya keluar dari gelapnya kebingungan dan kontradiksi dalam persoalan yang membingungkan akal dan kerancuan pemikiran.
Pembimbing akal ini adalah wahyu ilahi yang diturunkan allah kepada Rasul-Nya. Wahyu tersebut berupa risalah penutup yang terdapat dalam A-Qur'an, wahyu terakhir yang menjadi petunjuk umat manusia, dan As-Sunnah yang menjelaskan dan menguraikan kandungan Al-Qur'an.
Bagi siapa saja yang mengkaji sunnah Nabi saw. dengan seksama, maka akan mendapatkan hadis-hadis Nabi yang kaya akan isyarat-isyarat ilmiah, baik yang berkaitan dengan ilmu pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Ust. Dr. Yusuf al-Qardhawi misalnya menulis sebuah buku yang berjudul As-Sunnah Mashdaran Li Al-Ma'rifah wa Al-Hadharah. 10 Beliau menyatakan bagi pakar ekonomi misalnya, akan menemukan dari sunnah Nabi nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk yang sangat berharga, belum lagi nilai-nilai hukum. Baik dalam bidang produksi, konsumsi, distribusi ataupun sirkulasi barang. 11
Berikut ini akan dikemukakan beberapa sunnah Nabi yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan pertanian:
Anjuran Untuk Memproduksi, Meningkatkan Produksi dan Menjaga Sumber-sumbernya;
Bidang pertanian dan agribisnis: ”Barang siapa di antara orang Islam bercocok tanam atau menanam suatu tanaman, lalu buah tanamannya itu dimakan burung, orang atau hewan, maka hal itu akan menjadi sedekah bagi orang yang menanamnya.12
Bidang industri dan kerajinan: ”Tak ada seorangpun yang lebih baik daripada seseorang yang memakan makanan dari hasil pekerjaan-nya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil pekerjaannya sendiri.”13
Hadis Nabi s.a.w. kepada Muad ibn Jabal sebagaimana tersebut di atas.
وروي عن ابن مسعود من عرض له منكم قضاء فليقض بما كتب الله فإن جاءه ما ليس في كتاب الله وكان عن رسول الله صلى الله عليه وسلّم
Artinya: Diriwayatkan dari Ibn mas'ud, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa di antara kamu dihadapkan kepadanya suatu perkara hukum, maka hendaknya ia memutuskan perkara itu berdasarkan kepada apa yang sudah ditetapkan Allah (di dalam kitabnya), dan apabila dihadapkan kepadanya suatu pekara hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an, maka perkara itu diputuskan berdasarkan apa yang diterima dari Rasulullah s.a.w.”.
Penegasan kedudukan itu diperlukan ketika terjadi pertentangan antara sunnah dengan al-Qur'an. Dalam keadaan biasa, ketaatan terhadap tuntunan hadis/sunnah tidak boleh dibedakan dengan ketaatan terhadap al-Qur'an. Ketaatan kepada keduanya harus seiring dan sejalan karena keduanya berasal dari wahyu Allah s.w.t. di dalam beberapa ayat menjelaskan betapa ketaatan terhadap Rasulullah s.aw. adalah juga ketaatan kepada Allah, seperti dalam firman-Nya:
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. al-Nisa/4:80)
Ayat-ayat lain juga menjelaskan ketaatan di atas ialah:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. QS. al-Nisa: 59)
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali Imran/3:32)
As-Sunnah Sebagai Sumber Penetapan Syari'at (Hukum) dan Dakwah
Tidak diragukan lagi as-sunnah adalah sumber hukum kedua-setelah al-Qur'an dalam penetapan hukum fiqih dan syari'at. Karena itu, pembahasan tentang As-Sunnah, sebagai dasar serta dalil bagi hukum-hukum syari'at, dilakukan secara luas dalam semua kitab ushul Al-Fiqh dan dari semua mazhab. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai Al-Auza'iy (w. th 157 H.) menyatakan bahwa ”Al-Qur'an lebih membutuhkan As-Sunnah dibandingkan dengan As-sunnah kepada Al-qur'an.”5
Hal itu mengingat bahwa As-Sunnah merupakan penjelas bagi Al-Qur'an. Ia merinci apa yang disebutkan Al-Qur'an dalam garis besarnya saja, membatasi apa yang perlu dibatasi dan mengkhususkan apa yang disebut oleh al-Qur'an secara umum.
Itulah sebabnya, sebagian orang menyatakan bahwa ”As-sunnah berwenang atas Al-qur'an.” Yakni dalam arti berwenang memutuskan apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an.
Akan tetapi, Imam ahmad tidak menyukai ungkapan seperti itu. Katanya: ”Saya tidak berani mengatakan seperti itu. Saya hanya akan berkata bahwa As-sunnah menjelaskan kandungan Al-Qur'an.”6
Dan, barangkali, itulah yang lebih bijaksana. Sebab As-Sunnah, dalam satu segi, memang menjelaskan apa yang ada dalam Al-Qur'an, tetapi dalam segi lainnya, ia hanya berputar dalam orbit Al-Qur'an, tidak keluar darinya. Adapun hal yang telah disepakati sepenuhnya, adalah keberadan As-Sunnah sebagai sumber utama dalam penetapan hukum ibadat dan muamalat, yang berkaitan dengan individu, keluarga ataupun negara.
Imam Asy-Syaukani berkata: ”Singkatnya, keberadaan As-Sunnah sebagai hujjah (atau sumber hukum syariat) serta wewenangnya dalam penetapan hukum-hukum sudah merupakan suatu keharusan dalam agama, tidak seorang pun berbeda paham tentangnya, kecuali mereka yang tidak memiliki cukup ilmu dalam Islam.”7
Selain As-Sunnah sebagai sumber penetapan hukum kedua setelah al-Qur'an, as-Sunnah juga dijadikan oleh para Da'i dan Murabbi sebagai rujukan dalam menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuki ke dalam hati manusia. Demikian juga untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar.
Akan tetapi, agar sunnah dapat memenuhi fungsinya seperti tersebut di atas, haruslah terlebih dahulu kita meyakini bahwa sunnah itu benar-benar berasal dari Nabi saw. dan berkualitas shahih atau hasan.
Para ulama menyepakati persyaratan seperti ini dalam hadis-hadis yang dijadikan hujjah atau dasar dalam menetapkan hukum-hukum syari'at seperti yang berkaitan dengan halal dan haramnya sesuatu yang merupakan prinsip ajaran Islam.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan fadha-il al-amal (keutamaan-keutamaan amal), zikir, raqa'iq (ungkapan-ungkapan halus yang menyentuh perasaan), targhib wa tarhib, (anjuran dan pencegahan) dan sebagainya. Diantara para ulama ada yang mempermudah periwayatannya dan tidak keberatan untuk mentakhrijkannya.
As-Sunnah Sebagai Sunber Ilmu pengetahuan dan Peradaban
Sumber ilmu pengetahuan menurut para penganut aliran materialisme adalah terbatas pada materi yang dapat ditangkap oleh panca indera atau hal-hal yang logis dan masuk akal saja, mereka tidak mempercayai sumber ilmu pengetahuan apapun selain kedua sumber di atas.
Umat islam, juga menpercayai dua sumber tersebut. Kita menganggap panca indera dan akal sebagai instrumen penting ilmu pengetahuan bahkan sebagai kenikmatan karunia besar yang dianugrahkan Allah kepada manusia agar dapat memahami dirinya dan alam sekitarnya. Dengan akal dan panca indera itu juga ia dapat mengkaji dan mengerti hukum alam dan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Bahkan hukum-hukum dan rahasia alam itu sendiri oleh Islam dianggap sebagai saksi terbenar bukti paling akurat yang menunjukkan eksistensi dan keagungan Allah SWT. Yang telah memberikan segala-galanya kepada makhluk-Nya, lalu Dia memberikan hidayah kepada mereka.8
Akan tetapi, Umat Islam percaya bahwa selain itu, masih ada sumber lain yang lebih tinggi daripada kedua sumber ilmu pengetahuan tersebut di atas. Sumber yang terakhir ini bahkan dapat meluruskan dua sumber tadi, apabila keduanya salah, atau tersesat jalan. Sumber itu adalah wahyu ilahi.
Karena itu, akal, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Abduh9 memerlukan penolong yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar, ketika ia melalui persimpangan jalan, jebakan-jebakan, dan kawasan asing bagi akal. Pembimbing ini akan mengajarkan kepadanya apa-apa yang masih belum diketahui dan membawanya keluar dari gelapnya kebingungan dan kontradiksi dalam persoalan yang membingungkan akal dan kerancuan pemikiran.
Pembimbing akal ini adalah wahyu ilahi yang diturunkan allah kepada Rasul-Nya. Wahyu tersebut berupa risalah penutup yang terdapat dalam A-Qur'an, wahyu terakhir yang menjadi petunjuk umat manusia, dan As-Sunnah yang menjelaskan dan menguraikan kandungan Al-Qur'an.
Bagi siapa saja yang mengkaji sunnah Nabi saw. dengan seksama, maka akan mendapatkan hadis-hadis Nabi yang kaya akan isyarat-isyarat ilmiah, baik yang berkaitan dengan ilmu pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Ust. Dr. Yusuf al-Qardhawi misalnya menulis sebuah buku yang berjudul As-Sunnah Mashdaran Li Al-Ma'rifah wa Al-Hadharah. 10 Beliau menyatakan bagi pakar ekonomi misalnya, akan menemukan dari sunnah Nabi nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk yang sangat berharga, belum lagi nilai-nilai hukum. Baik dalam bidang produksi, konsumsi, distribusi ataupun sirkulasi barang. 11
Berikut ini akan dikemukakan beberapa sunnah Nabi yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan pertanian:
Anjuran Untuk Memproduksi, Meningkatkan Produksi dan Menjaga Sumber-sumbernya;
Bidang pertanian dan agribisnis: ”Barang siapa di antara orang Islam bercocok tanam atau menanam suatu tanaman, lalu buah tanamannya itu dimakan burung, orang atau hewan, maka hal itu akan menjadi sedekah bagi orang yang menanamnya.12
Bidang industri dan kerajinan: ”Tak ada seorangpun yang lebih baik daripada seseorang yang memakan makanan dari hasil pekerjaan-nya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil pekerjaannya sendiri.”13
”Sungguh seorang diantara kalian mengambil kayu lalu mengikat kayu-kayu itu, dan membawa di atas punggungnya lalu menjualnya- kemudian Allah memelihara kehormatan orang tersebut dengan perbuatannya itu-lebih baik daripada ia meminta-minta pada orang lain. Baik orang itu memberinya atau tidak.14
”Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan (profesional) dalam segala sesuatu.”15
”Sesungguhnya Allah mencintai seseorang dari kalian ,apabila ia bekerja maka ia bekerja dengan baik.”16
Hadis di atas memberikan pelajaran kepada kita untuk berkarya dengan profesional, berusaha menghasilkan produk yang baik sehingga bisa bersaing di pasaran.
Dalam hal ini Sunnah juga menegaskan supaya seseorang bisa bekerja efesien dan optimal dengan memanfaatkan apa saja walau dianggap menjijikan oleh orang lain. Rasulullah merasa tidak senang terhadap para sahabat yang membiarkan kambingnya mati tanpa dimanfaatkan kulit dan bulu-bulunya. Kepada mereka beliau bertanya: ”Mengapa kalian tidak mengambil kulit dan bulunya untuk dimanfaatkan?” Mereka menjawab: ”Kambing itu telah mati wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda;”Kambing itu hanya haram untuk dimakan”.17
Dan banyak lagi sunnah-sunnah Nabi saw. yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu lainnaya. Pembahasana tentang sunnah selanjutnya adalah fungsi sunnah. Insyaalloh akan ditampilkan pada materi depan.
”Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan (profesional) dalam segala sesuatu.”15
”Sesungguhnya Allah mencintai seseorang dari kalian ,apabila ia bekerja maka ia bekerja dengan baik.”16
Hadis di atas memberikan pelajaran kepada kita untuk berkarya dengan profesional, berusaha menghasilkan produk yang baik sehingga bisa bersaing di pasaran.
Dalam hal ini Sunnah juga menegaskan supaya seseorang bisa bekerja efesien dan optimal dengan memanfaatkan apa saja walau dianggap menjijikan oleh orang lain. Rasulullah merasa tidak senang terhadap para sahabat yang membiarkan kambingnya mati tanpa dimanfaatkan kulit dan bulu-bulunya. Kepada mereka beliau bertanya: ”Mengapa kalian tidak mengambil kulit dan bulunya untuk dimanfaatkan?” Mereka menjawab: ”Kambing itu telah mati wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda;”Kambing itu hanya haram untuk dimakan”.17
Dan banyak lagi sunnah-sunnah Nabi saw. yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu lainnaya. Pembahasana tentang sunnah selanjutnya adalah fungsi sunnah. Insyaalloh akan ditampilkan pada materi depan.
0 komentar:
Posting Komentar