Selalu saja, setiap kali dia menjumpaiku, dia senantiasa menyapaku dengan senyuman yang tidak pernah kutemukan sebelumnya. Senyum yang begitu indah hingga membuat kepalaku berbunga-bunga dan mendadak hatiku menjadi hangat menatapnya.
Dia selalu menyapaku ramah. Pasti. Setiap kali bertemu dia berhenti dan melihatku meski sebentar tanpa alasan apapun. Kadang aku tersontak kaget saat dia melakukan hal itu. Hingga, aku menjadi terbiasa dengan tatapannya itu. Hangat, hatiku hangat.
Yang pasti kau tahu. Dia adalah orang paling generous yang pernah aku temui. Dia, yang terkadang aku berganti mencuri pandang tentangnya, meski senyumnya ia lempar kepada yang lain pun membuatku gembira.
Ia yang tahu sekali bertata krama dengan yang lain, saat sama tinggi dia berdiri. Dan saat lawan bicaranya dibawah dia duduk dengan anggun dan berbicara dengan nada yang sama. Kembali hatiku menjadi hangat menatapnya dari kejauhan.
Satu kali dia membawakan sebuah remahan yang dibungkusnya dengan cantik. Dia mengajakku ngobrol panjang lebar. Aku mendengarkannya. Mendengarkan suara lembutnya berirama seperti senandung kenari di tepian pantai. Berisik, tapi aku suka mendengarnya berbicara.
Lontaran senyumannya saat menyerahkan remahan itu membuatku salah tingkah. Dia tahu aku lapar. Dia sengaja kali itu membawakan sesuatu yang pasti dia pikir aku akan menyukai remahan itu. Hei!! Kau, apapun yang kau bawa, aku suka.
Pernah dia terlihat seperti kikuk melihatku tiduran ditempat terbuka. Dia mungkin menganggap aku capai sekali dan hingga lupa makan. Padahal aku memang menunggunya membawakan makanan untukku.
Dia berputar balik dan berjalan bergegas masuk ke sebuah toko. Aku masih tiduran sambil membuka mataku kecil. Dan dia keluar dengan membawa sekantong plastik. Kututup mataku rapat. Wangi tubuhnya tercium kuat semakin mendekat. Dan suara yang kutunggu akhirnya terdengar seraya menyodorkan sebuah roti untukku. Lalu dimulailah siaran radio yang kunanti. Teruslah bersuara hai penyiar, aku setia mendengarkanmu sambil menghabiskan rotimu.
Sempat juga dia menghilang. Beberapa kali aku menunggu ditempat yang sama ia menemuiku, mencari di sudut yang sama kulirik tempat faforitnya, dan ia tak kunjung datang. Senyumnya yang membuatku terlepas dari semua beban, hari itu sepi.
Langit yang cerah rasanya seperti hujan saja. Langit dimana aku berada dibawahny terasa sangat dingin meski matahari begitu terik, seakan aku pernah punya salah terhadapnya. Lama aku menunggunya tak kunjung datang. Bahkan aroma wanginya meski biasanya dari kejauhan sudah kucium, saat itu hidungku hanya mencium dingin. Ah, tidak ada kehangatan hari ini, batinku.
Hingga pada hari itu, tubuhku yang lemas menantinya. Aku mencium wanginya samar-samar, ah ini mimpi yang indah.
Tapi wanginya semakin mendekat. Ditempat yang biasa aku tiduran disitu, aku langsung melompat kegirangan. Kakiku berdiri tegap melihat sekitar. Mencari sosok dirinya.
Ia kali ini menenteng banyak sekali makanan. Ah, melihat senyum indahnya itu lagi aku merasa sangat kenyang hari ini. Makanan yang dibawanya tidak lebih enak dari sapaannya hari itu.
Secara tiba-tiba mengusap kepalaku halus. Sentuhan pertama kami. Tangannya ternyata tangan malaikat. Aku menyambutnya dengan intim. Kali pertama itu pula aku mendengar suaranya yang halus.
"Kamu ikut pulang yuk. Kita habiskan makanan ini dirumah barumu, Snow." Ucapnya.
Aku memeluknya erat. Hari itu, hari terindah dalam hidupku. Aku mempunyai ibu dan dia memberiku rumah baru.
"Kamu tahu, beberapa hari kemarin, aku keliling perkampungan ini memastikan dimana majikanmu. Diantara bahagia dan sedih, aku senang kamu tidak ada pemiliknya." Dia terus bercerita dan aku mulai memahami ucapannya hingga aku tertidur pulas dipangkuannya untuk pulang. [sumodisastro]